Sunday, July 29, 2012

Sunday, May 6, 2012

300 word VS 300 cc


Saya tekankan dari awal, penulisan jurnal ini hanya opini semata, apa yang Saya tulis bukanlah kebenaran mutlak yang absolut. Jangan terlalu sentimental dalam menyikapinya. Namun dari tulisan ini (mungkin) bisa mendatangkan (sedikit) perubahan. Tidak terlalu muluk, hanya ingin para pemirsa bisa mendapatkan sesuatu yang lain dari sekedar visual dan gosip murahan yang beredar di dalam forum (lagi-lagi maya, bukan fisik). Tentu kawan-kawan setuju (semoga saja tidak) dengan konflik yang berkembang selama ini, antara Otak Kanan dan K.I.P. Terlalu berlebihan jika diibaratkan dengan perang Israel dan Palestin, atau ormas fasis dan para kaum liberal. Saya berpendapat kedua belah pihak, pun merasa tidak ada konflik diantara mereka. Dan mungkin (kita semua setuju) ini bukanlah konflik, hanya sesuatu yang remeh, tapi dipelihara, lalu berkembang dan dibesar-besarkan sehingga semua setuju bahwa ini sebuah konflik. 

Saya rasa, ini hanya ulah oknum yang mencoba mencari celah dan bermain diantara gosip ini, menghasut, mengadu domba dan mencari keuntungan dari konflik yang absurd. Pertanyaannya adalah, untuk apa? Apakah dengan membentrokkan kedua belah pihak bisa menyelesaikan konflik tersebut? Tidak, kalau pun terjadi, hasilnya akan seperti ini, dari pihak yang kalah akan semakin dendam, dan dipihak yang menang makin besar kepala. Hal ini sangat kekanak-kanakan dan terlalu arogan. Bagaimana bisa menjadi sebuah kota kalau pola pikirnya masih kampungan. Sekarang bukan waktunya untuk saling memecah-belah, kita sama-sama sedang membangun, membangun kota dengan seni. Sedikit masukan untuk yang sedang berkonflik, (please) jangan termakan hasutan setan yang terkutuk. Jadikan konflik kalian sebagai energi positif yang mampu memotivasi teman-teman yang lain agar bisa bersinergi, lebih kompak dan cerdas dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Tetap berkarnya, tetap support dan saling respect. Dan untuk oknum yang sedang mencari sensasi, kontroversi memang membuat suatu perspektif jadi terlihat menggairahkan, tetapi tidak jarang malah menghancurkan harapan. Kalau hanya ingin mencari fatamorgana atas nama eksistensi, cari kota lain JANGAN DI TANGERANG!!

Keep support and respect!
Sulistyo Danang, April 2012.

Tuesday, May 1, 2012

(Review) Workshop Cukil Kayu

Minggu, grimis gemes mengguyur Tangerang sedari pagi, tanpa harus ikut terlena oleh gemesnya grimis. but, hey show must go on. Tangerang Street Art Forum (TSAF) dan Lapak Bersepeda bekerja sama dengan  Rumah Belajar Keluarga Anaklangit menggelar workshop seni grafis cukil kayu, yang di bimbing oleh teman-teman dari Universitas Negri Jakarta (Digel & Ponga). Seperti yang kita ketahui Cukil kayu adalah teknik cetak relief dalam seni grafis, di mana gambar dipahat pada permukaan papan kayu, dengan bagian yang akan dicetak tetap sejajar dengan permukaan sementara bagian yang tak dicetak dicukil atau dipahat dengan tatah/alat cukil. Bagian yang dicukil dengan pisau atau tatah hasilnya menjadi "putih" (warna kertas atau bahan lain) , bagian yang tidak dicukil tetap sejajar dengan permukaan aslinya, hasilnya menjadi "hitam" (warna tinta). Workshop ini diikuti oleh lebih dari 20 orang yang dengan semangat mencoba sensasi baru dalam berkarya berkat arahan kakak-kakak UNJ. Seperti tak ingin ketinggalan berita, workshop ini pun diliput oleh salah satu stasiun televisi swasta, Kompas TV. Dan bukan hanya meliput, mereka pun ikutan berkreasi dengan cukil kayu.
 Pada saat itu Saya menjadi orang yang kurang beruntung karena datang terlambat. Melihat beberapa hasil karya workshop yang sudah bergeletakan di Panggung Apresiasi. Saya pun tertantang untuk mencoba membuat karya dengan teknik cukil ini. Acara seperti ini lah yang kita tunggu-tunggu. Sharing kemampuan salah satunya teknik cukil kayu, yang mungkin bisa menjadi media alternatif dalam berkarya. Namun sayangnya acara ini hanya sebatas workshop, mungkin dilain kesempatan hasil karya workshop bisa dipamerkan. Dan tak lupa berterima kasih kepada Ponga dan Digel yang menyempatkan hadir serta memberikan ilmunya kepada teman-teman di Tangerang. Semoga ini bisa menjadi agenda TSAF di tahun 2012, dengan  menggelar beberapa  workshop  yang lainnya. Entah itu sablon, stencil bisa juga wheatpaste.  Keep support and respect!
Sulistyo Danang, April 2012
Foto suasana dan hasil karya Workshop bisa dilihat disini dan disini.

Refleksi di balik hujan

Titik-titik air hujan berebut turun dari langit, kejar-kejaran saling mendahului untuk sampai ketanah, dan akhirnya menggenang, mengalir entah kemana. Tiba-tiba saja suasana jadi dingin, tak ada kata yang keluar. Hanya suara telivisi yang tertinggal tak ditonton. Saya masih saja sibuk dengan pensil dan kuas yang menari-nari diatas kertas. Hari ini Saya tidak terlalu banyak memasukan nikotin dan kafein kedalam tubuh, mengingat lambung kian hari kian memburuk. Maka dengan berat harus Saya putuskan untuk mengurangi konsumsi racun tersebut.
Sambil mengingat-ingat obrolan dengan seorang Acul. Mulai dari hal remeh-temeh sampai permasalahan yang kami anggap serius. Ada obrolan yang Saya anggap sebagai suatu permasalahan yang remeh tapi sepertinya serius, tak lain tentang street art Tangerang. Kami berdua sepakat streetart Tangerang masih gitu-gitu saja, merayap jalan di tempat. Ga berkembang, tak berbunga, masih kuncup seperti belum disunat. Permasalahnnya masih saja berputar-putar pada lingkaran setan. Gontok-gontokan antara satu pihak dengan lainnya, yang ingin menonjor diantara benjolnya, bahkan ada yang perang dingin walaupun sering berbagi api. Tak habis pikir apa sih yang kalian perebutkan? Ruang kah? Nama besar kah? Atau apa? Saya rasa ruang di Tangerang terlalu luas untuk kalian perebutkan, masih banyak tembok kosong yang bisa kalian gunakan. Nama besar? Lalu pertanyaannya adalah, sebesar apa sih nama kalian? Sudah berapa lama kalian bergumul di area street art? Belum lagi slogan-slogan yang terdengar amatlah karon, tidak jelas apa tujuannya, siapa sasarannya, entahlah, gatel aja pengen mengomentari.
 Ada beberapa slogan yang membuat Saya bertanya-tanya. Salah satunya Fight Back! Apa yang kalian perangi? Sistem kah? Pemerintah? Aparat? Korporasi? Atau apa? Siapa yang mau kalian lawan? Saya rasa tak ada yang meragukan kalau kalian adalah salah satu crew yang bergerak lebih awal dalam street art (Tangerang pada khususnya). Slogan itu jadi garing pemaknaannya kalau disejajarkan dengan eksistensi kalian. Ada lagi slogan Come Back! (WTF!! tiba-tiba timbul dua tanda tanya sebesar World Trade Center), kalian emang dari mana, diiculik Alien? Kalian habis menghilang berapa lama, puluhan tahun kah? Kalian hanya korban ikut-ikutan (that’s it!). Dan yang terbaru dan membuat Saya makin mengerutkan kening sambil menyeringai adalah Fuckin Artist! (Darth Vader maafkan hambaMu ini) hey, kalian tuh artist, yang dalam bahasa Indonesia seniman, berasal  dari kata seni /art. Slogan itu kalian tujukan buat siapa? Diri kalian kah? Atau seniman lain? Atau kalian tidak ingin disebut seniman, lalu kalian apa? Coba pertanyakan lagi slogan-slogan kalian itu “Respect is not a gift, its something you earn.”
Saya tidak peduli dengan slogan kalian. Sungguh peduli setan Saya tidak peduli. Karena itu statement kalian, dan ini opini Saya tentang statement kalian. Karena imbas dari semua ini adalah kawan-kawan yang baru mulai menyelupkan kuas dan membuka spray can nya di tembok Tangerang. Apakah tak terbesit dalam otak kalian, bagaimana membuat sesuatu yang berguna bagi keberlangsungan forum (fisik bukan maya) ini. Entah itu berupa acara (bukan hanya gambar bersama) atau sesuatu yg lebih berguna seperti ruang alternatif – selain Rumah Belajar Keluarga Anaklangit tentunya. Apakah kalian akan terus bergantung pada itu? Mungkin pintu Anaklangit akan selalu terbuka lebar untuk kita, Bang Edi akan selalu menyediakan kopi dan berbagi Dji Sam Soe nya,  tapi coba dipikir lagi, apakah tidak lebih keren kalau kita punya ruang sendiri? Gantian kita yang menyuguhkan kopi dengan sedikit cemilan buat Bang Edi atau Ka Mi’ing ketika mampir? Menjadikan ruang itu sebagai tempat berkegiatan di luar gambar bersama, bisa saja sebagai tempat diskusi, menjadikannya ruang pamer ataupun pendistribusian barang-barang streetart. Lebih organik, lebih komunal. Satu tahun sudah lewat, dan bekasnya masih sangat pekat, disaat kota lain berlari kencang kita masih saja mangkreng di Firstart.
Sulistyo Danang, April 2012

Orang kismin dianjurkan minum kopi

 

Sedari siang Aku hanya tergolek kuyu, pada kursi panjang dalam kamar. Bolak-balik buka dan baca buku Pramoedya boleh pinjam dari Bang Edi. Matahari di luar bertengger di atas kepala, yang membuat atmosfir ruangan seperti dalam oven, diperparah pemadaman listrik bergilir PLN, lengkaplah sudah. Keringat mengucur dengan sendirinya, menyisakan bekas lepek pada kaus yang membuat semakin haus. Sempat tertidur setelah terbangun oleh tukang Pos dan paket berisi zine FACE ME! dari seorang teman di Solo. Seharusnya aku menggambar beberapa untuk karya TA. Apa daya listrik padam, stok foto yang dari pagi Aku cari di internet masih tersimpan rapih dalam laptop yang tak berdaya. Aku mengutuk dalam hati kapan listrik ini menyala. Secangkir kopi kental kubuat menyambut sore yang semakin pekat, seraya menghirup dalam tembakau dan membuka buku Pramoedya yang kupinjam dari Bang Edi.
Tangerang, 25 April 2012